Pages

Selasa, 24 April 2018

Ijma' dan Qiyas

MAKALAH
IJMA DAN QIYAS
MATA KULIAH TARIKH TASYRI’


DISUSUN OLEH KELOMPOK VII

DOSEN PENGAMPUH: MUHAMMAD NOR, M. HI

JURUSAN AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
TAHUN 2018

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, Rabb penguasa jagat raya, yang telah mengajarkan manusia dengan qalam, dan mengajarkan manusia dari semula tidak bisa membaca menjadi bisa, dari semula tidak bisa menulis menjadi bisa, dari semula bodoh menjadi pintar. Shalawat dan salam semoga tercurahlimpahkan kepada baginda alam, Muhammad Rasulullah SAW, yang membawa kitab suci Al- Qur’an untuk penerangan, pencerahan, dan keberkahan bagi segenap pengikutnya hingga mereka menjadi manusia yang bermartabat dan mendapatkan maqam yang mulia, menyandangkan gelar sebagai kelompok ulul- albab  intelektual  menuju predikat muttaqin.
            Makalah Tarikh Tasyri’ ini disusun dalam rangka memenuhi tugas yang diberikan oleh bapak Muhammad Nor M.HI selaku dosen pengampuh kami. Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada tekhnis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan kami masih dalam tahap pembelajaran. Untuk itu, kritik dan saran yang mendukung dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Mataram, 18 maret 2018










DAFTAR ISI
Cover…………………………………………………………………………….......
Kata pengantar……………………………………………………………………….
Daftar isi……………………………………………………………………………...
Bab I. Pendahuluan…………………………………………………………………
            A.    Latar belakang
            B.     Rumusan masalah
            C.     Tujuan
Bab II. Pembahasan…………………………………………………………………..
            A.    Definisi ijma’
            B.     Kedudukan ijma’
            C.     Jenis-jenis ijma’
            D.    Sandaran ijma’
            E.     Definisi qiyas
            F .     Kedudukan qiyas
            G.    Rukun qiyas
Bab III. Penutup………………………………………………………………………..
            A.    Kesimpulan
            B.     Saran
Daftar pustaka…………………………………………………………………………





BAB I.
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang     
            Ijma’ merupakan kumpulan salah satu di antara prinsip dari ushul fiqh atau dari syariat Islam. Ijma’ adalah suatu consensus mengenai permasalahan hukum Islam baik dinyatakan secara diam maupun secara nyata. Ijma’ merupakan kesepakatan seluruh otoritas ulama, bahkan pada umumnya kesepakatan ulama-ulama terkenal dapat berkembang menjadi ijma’. adakah dimungkinkan terjadi ijma’ secara sempurna, namun hal ini sangat sulit dikarenakan perbedaan pandangan mengenai urusan keagamaan dan disebabkan karena tidak adanya otoritas ulama yang diakui oleh seluruh kelompok yang ada. Dengan demikian ijma’ tidak berarti sebuah kesepakatan yang meniadakan keberagamaan pendapat, namun ia merupakan kesepakatan kalangan mayoritas tertentu.
            Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara’ dalam hal-hal yang nash Al-Quran dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra’yu, yaitu penggunaan ra’yu yang masih merunjuk kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana disebut qiyas. Meskipun qiyas tidak menggunakan nash secara langsung, tetapi karena merujuk nash, maka dapat dikatakan bahwa qiyas juga sebenarnya menggunakan nash, namun tidak secara langsung.
            Dasar pemikiran qiyas itu ialah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab. Hampir dalam setiap hukum di luar bidang ibadah, dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum itu oleh Allah. Alasan hukum yang rasional itu oleh ulama disebut “ Illat”. Di samping itu, dikenal pula konsep mumatsalah, yaitu kesamaan atau kemiripan antara dua hal yang diciptakan Allah. Bila dua hal itu sama dalam sifatnya, tentu sama pula dalam hukum yang menjadi akibat dari sifat tersebut. Meskipun Allah Swt. hanya menetapkan hukum terhadap satu dari dua hal yang bersamaan itu, tentu hukum yang sama berlaku pula pada hal yang satu lagi, meskipun Allah dalam hal itu tidak menyebutkan hukumnya.
B.     Rumusan masalah.
1.      Apakah definisi dari ijma’?
2.      Bagaimana kedudukan ijma’ sebagai sumber hukum?
3.      Apakah jenis-jenis ijma’?
4.      Apakah yang dimaksud sandaran ijma’?
5.      Apakah definisi dari qiyas?
6.      Bagaimana kedudukan qiyas sebagai sumber hukum?
7.      Apakah rukun-rukun qiyas?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui definisi dari ijma’
2.      Untuk mengetahui kedudukan ijma’ sebagai sumber hukum
3.      Untuk mengetahui jenis-jenis ijma’
4.      Untuk mengetahui sandaran ijma’
5.      Untuk mengetahui definisi qiyas
6.      Untuk mengetahui kedudukan qiyas sebagai sumber hukum
7.      Untuk mengetahui rukun-rukun qiyas



















BAB. II
PEMBAHASAN
A.    Definisi ijma’
Dari segi kebahasaan, kata ijma’ mengandung dua arti. Pertama, bermakna “ketetapan hati terhadap sesuatu”. Pengertian ijma’ dalam konteks makna ini ditemukan, antara lain, ucapan nabi Nuh kepada kaumnya, dalam surah yunus ayat 71:
۞ وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيرِي بِآيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ
Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah aku bertawakkal, karena itu, bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).
Kedua, ijma’ bermakna “kesepakatan terhadap sesuatu “. Ijma’ dalam pengertian ini ditemukan dalam surah yusuf ayat 15:
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَٰذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan), dan (diwaktu dia sudah dalam sumur) kami wahyukan kepada yusuf:”sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.”
Adapun ijma’ dalam pengertian terminology ialah:[1]
“kesepakatan semua ulama mujtahid muslim dalam satu masa tertentu, setelah wafatnya Rasulullah saw, yang berkaitan dengan hukum syara’.
Dari definisi diatas, dapat dipahami bahwa ijma’ mengandung beberapa unsur sebagai berikut:
a.       Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat Islam (ulama).
b.      Suatu kesepakatan yang yang dilakukan haruslah dinyatakan secara jelas.
c.       Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid.
d.      Kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya rasulullah.
e.       Yang disepakati itu adalah hukum syara’ mengenai hukum suatu masalah/ peristiwa hukum tertentu.


B.      Kedudukan ijma’ sebagai sumber hukum.
Jumhur ulama berpendapat, ijma’ merupakan hujjah yang bersifat qath’I (pasti). Artinya, ijma’ merupakan dasar penetapan hukum yang bersifat mengikat, wajib dipatuhi dan diamalkan. itulah sebabnya, jumhur ulama menempatkan ijma’ sebagai sumber dan dalilhukum yang ketiga setelah al-qur’an dan Sunnah. Menurut jumhur ulama’ dalil ijma’ sebagai hujjah yang pasti, didasarkan atas alasan-alasan sebagai berikut.
a.       Al-qur’an surah an-Nisa’ (4): 115
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya,dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami memasukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Jumhur ulama berpendapat, ancaman siksa yang terdapat pada ayat diatas, ditujukan kepada orang yang menentang Rasulullah SAW. Dan tidak mengikuti jalan orang mukmin. Ancaman siksa hanya ditujukan kepada orang yang melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib. Dalam pada itu, ijma’ adalah mengikuti jalan orang-orang mukmin. Karena meninggalkan perbuatan mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah haram, maka mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah wajib. Dengan demikian, mengikuti ijma’ adalah wajib.
b.      Terdapat juga sabda Rasulullah SAW.yang berbunyi:[2]
لا تجتمع أمتي على ضلالة
Umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, derajatnya hasan menurut Syeikh Albani)
Dilihat dari segi dalalah (segi maknanya), hadits trsebut juga mencapai derajat qat’I (pasti) dalam menunjuk pengertian wajib mengikuti ijma’. Dengan demikian, baik ditinjau dari segi jalur periwayatan (sanad) maupun susunan redaksi (matan)nya, hadits tersebut merupakan nash al-qat’I (nash yang bersifat pasti keberadaannya dan kebenarannya) dalam menunjuk kewajiban mengikuti ijma’.


C.     Jenis-jenis ijma’.
1.      Ijma’ sharih.
Yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam suatu masa mengemukakan             pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka baik melalui ucapan (hasil             ijtihadnya  disebarluaskan melalui fatwa).[3] Melalui tulisan atau dalam bentuk perbuatan             yang mencerminkan pendapatnya[4] (mujtahid menjadi hakim memutuskan suatu perkara).
Contoh ijma’ sharih yakni ijma’sahabat tentang pemerintahan wajib hukumnya             mengangkat seorang imam atau khalifah untuk menggantikan rasulullah  SAW. ijma’ ini    bisa dilihat dalam pengangkatan Abu bakar untuk menjadi khalifah setelah nabi wafat.
2.      Ijma’ sukuti.
Yaitu sebagian mujtahid pada suatu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas             dengan fatwa atau putusan hukum, dan sebagian lain diam. Artinya tidak mengemukan             komentar setuju atau tidak terhadap pendapat-pendapat yang telah dikemukakan.[5]
Contoh ijma’ sukuti ialah diadakannya adzan dua kali dan iqamah untuk shalat jum’at             yang diperkasai oleh sahabat utsman bin affan r.a pada masa kekhalifahan beliau. Para             sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ beliau dan diamnya para             sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas perkara tersebut.
3.      Kesepakatan dalam prinsip.
Yaitu para mujtahid berbeda pendapat dan menghasilkan banyak pendapat yang             berkembang, namun mereka sepakat yang prinsip kesepakatan itu dijadikan hujjah dan             tidak boleh mujtahid mengemukakan pendapat yang menyalahi pendapat orang banyak itu.
Namun, mengenai ijma’ yang ketiga ini sebagian ulama’ memasukkan ijma’ yang    mengikuti mazhab Hanafi.
D.    Sanad (sandaran) ijma’.
Adapun yang dimaksud dengan mustanad ijma’ ialah, dalil yang dijadikan pegangan oleh mujtahid yang melakukan kesepakatan hukum dari suatu masalah tertentu.
Para ulama berbeda pendapat tentang kemestian adanya mustanad dalam setiap kesepakatan hukum yang terjadi, menjadi dua kelompok sebagai berikut.
Pertama, jumhur ulama berpendapat, setiap ijma’ harus memiliki mustanad, baik berupa dalil nash al-qur’an maupun Sunnah, ataupun khabar ahad maupun qiyas. Setiap fatwa hukum, yang kemudian menjadi ijma’, yang tidak memiliki mustanad adalah salah, karena hal itu berarti menetapkan hukum agama tanpa dasar. Allah SWT. berfirman pada surah al-isra’ (17):36.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesunggunya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya.
Kedua, kelompok yang berpendapat, untuk terjadinya ijma’ tidak dipersyaratkan adanya mustanad. Ijma’ dapat saja terjadi meskipun tanpa mustanad, asalkan terdapat kesepakatan pada umat islam, dimana hal itu terjadi melalui ilham yang diilhamkan allah kepada mereka yang melakukan kesepakatan untuk menemukan kebenaran.
E.     Definisi qiyas.
     Secara etimologis, kata “qiyas” berarti قدر, aratinya mengukur, membanding sesuatu                      dengan yang semisalnya. Tentang arti qiyas menurut terminology (istilah hukum), terdapat                   beberapa depinisi berbeda yang saling berdekatan artinya. diantara definisi-definisi itu adalah:
1.      Al- Ghazali dalam al- mustafah memberi definisi qiyas.
“menangguhkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan adanya yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.”

2.      al-Amidi, qiyas ialah[6]: “keserupaan antara cabang dan ashal pada illah hukum asal menurut pandangan mujtahid dari segi kemestian terdapatnya hukum (asal) tersebut pada cabang.
3.      Abu Hasan al-Bashri memberikan definisi:“menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada furu’ karena keduanya sama dalam ‘illat hukum menurut mujtahid.
4.      Wahbah az-Zuhaili, qiyas ialah:[7] “menghubungkan suatu masalahyang tidak terdapat nash syara’ tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nash hukumnya, karna adanya persekutuan keduanya dari segi illah hukum.
F.     Kedudukan qiyas sebagai sumber hukum. 
                   Jumhur ulama menerima qiyas sebagai sumber hukum yang menempati tingkatan                keempat dalam hujjah agama sesudah al-qur’an, Sunnah, dan ijma. penggunaan qiyas               dibolehkan sesudah al-qur’an apabila tidak diperoleh pada suatu kejadian hukumnya dari nash atau ijma.   Dalil-dalil tentang kehujjahan qiyas dapat diperoleh melalui al-qur’an, Sunnah, perkataan atau perbuatan sahabat, atau dengan pemikiran. Adapun dalil yang terdapat dalam al-qur’an adalah firman Allah swt. dalam surat An-nisa:59.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-qur’an) dan rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Melalui ayat diatas Allah swt memerintahkan, jika terjadi perbedaan pendapat tentang suatu masalah diantara kaum muslimin, agar mencari penyelesaiannya dengan merujukkannya kepada Allah swt (al-qur’an) dan kepada Rasulullah saw (Sunnah). Cara merujukkannya kepada al-qur’an dan Sunnah adalah melalui qiyas.
Dalam beberapa ayat, Allah swt. mengajarkan kepada kita untuk melakukan qiyas dalam memahami sesuatu masalah. Kata yang digunakan untuk menunjuk pengertian qiyas tersebut adalah al-I’tibar dan al-‘ibrah. Misalnya, pada potongan surah Ali ‘Imran:13
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِأُولِي الْأَبْصَار
“sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati”.
                        Demikian juga pada potongan surah yusuf:111
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.
G.    Rukun-rukun qiyas
               Unsur-unsur qiyas yaitu: al-ashl (dasar/pokok), al-far’u (cabang), hukum ashl, dan ‘illah.             Untuk lebih jelas, ke empat unsur qiyas tersebut diuraikan sebagai berikut.

1.      Al-Ashl (Dasar/pokok)
Adapun yang dimaksud dengan al-ashl ialah, yaitu sesuatu yang telah ditetapkan ketentuan hukumnya berdasarkan nashsh, baik nashsh ini tersebut berupa al-qur’an dan as-sunnah. Misalnya: mengucapkan perkataan “ah” kepada orangtua dilarang secara jelas didalam nash. Dalam istilah lainnya, al-ashl ini disebut juga dangan maqis ‘alaih (yang di-qiyas-kan atasnya) atau musyabbahbih  (yang diserupakan dengan). Mengenai unsur pertama ini, beberapa ulama menetapkan pula beberapa persyaratan sebagai berikut:
a)      Al-ashl tidak mansukh. Artinya, hukum syara’ yang akan menjadi sumber peng-qiyas-an itu masih tetap berlaku pada masa hidup rasulullah. Apabilah telah dihapuskan ketentuan hukumnya, maka ia tidak dapat menjadi al-ashl.
b)      Hukum syara’. Persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, sebab yang yang hendak ditentukan ketentuan hukumnya melalui qiyas adalah hukum syara’, bukan ketentuan hukum yang lain.
c)      Bukan hukum yang dikecualikan. Jika al-ashl tersebut merupakan pengecualian, maka tidak dapat menjadi wadah qiyas. Misalnya ketatapan sunnah bahwah puasa karna lupa tidak batal. Ketentuan ini tidak dapat menjadi ashl a-qiyas untuk menetapkan tidak batalnya puasa orang yang berbuka puasa karena terpaksa.
2.      Al-Far’u (cabang)
Adapun yang dimaksud dengan al-far’u ialah, masalah yang hendak diqiyas-kan yang tidak ada ketentuan nashsh yang menetapkan hukumnya. Misalnya: Menyakiti orangtua secara fisik dan diqiyaskan dengan hukum ashl yang terdapat hukumnya dalam nash. Unsur ini disebut juga dengan maqis, atau mahal asy-syabh. Terdapat unsur ini, para ulama menyebutkan beberapa syarat sebgai berikut.
a)      Sebelum di-qiyas-kan tidak ada nashsh lain yang menentukan hukumnya. Jika lebih dahulu telah ada nashsh yang menentukan hukumnya, tentu tidak perlu dan tidak boleh dilakukan qiyas terhadapnya.
b)      Adanya kesamaan antara illah yang terdapat dalam al-ashl dan terdapat dalam al- far’u
c)      terdapat dalil qath’i yang kandungannya berlawanan dengan al-far’u.
3.      Hukum ashl
Adapun yang dimaksud dengan hukum ash ialah, hukum yang terdengar dalam masalah yang ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nashsh tertentu, baik dari al-qur’an dan as sunnah. terhadap unsure ketiga ini, para ulama mengatakan, syarat-syaratnya ialah sebagai berikut.
1.      Hukum tersebut adalah hukum syarah, bukan hukum yang berkaitan dengan hukum aqliyyat atau adiyyat dan atau lughawiyyat. Syarat ini sebenarnya hamper tidak perlu disebutkan, karena yang hendak diketahui hukumnya adalah hukum syarah
2.      Illah hukum tersbut dapat ditemukan; bukan hukum yang tidak dapat dipahami ‘illah-nya (ghair ma’qulah al-ma’na)
3.      Hukum ash tidak termasuk dalam kelompok yang menjadi khushushiyyah rasulullah.
4.      Hukum ashl tetap berlaku setelah wafatnya rasulullah. Bukan ketentuan hukum yang sudah dibatalkan (mansukh). Contoh unsure ketiga ini, dikaitkan dengan unsure pertama dan kedua ialah, ialah hukum haramnya khamr
        4. Illah
       Adapun yang dimaksud dengan illah ialah, suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali   suatu peristiwa terjadi dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum.sebagaimana diketahui, berdasarkan apenelitian yang mendalam, diyakini bahwa tujuN Allah dalam menetapkan setiap hukum adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi hamba-hambaNya, yaitu dengan meraih manfaat dan menghindarkan bahaya dan kemudharatan bagi hambaNya,.para ulamma menetapkan beberapa syarat terhadap suatu illah hukum, agar dipandang sah sebagai illah, yaitu sebagai berikut:
a)      Zhahir yaitu illah mestilah mestilah suatu sifat yang jelas dan nyata; dapat disaksikan dan dapat dibedakan dengan sifat dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan yang lain. Suatu sifat yang tidak nyata (bathil) tidak dapat dijadikan sebagai illah hukum.,
b)      Illah harus mengandung hikmah yang sesuai dengan kaitan hukum dan tujuan hukum. Dalam hal ini, tujuan hukum adalah jelas, yaitu kamaslahatan mukallaf didunia dan akhirat (mashlahah ad-darain), yaitu melahirkan manfaat atau menghidarkan kemudharatan.
c)      Mundhabithah, yaitu illah yang harus memiliki hukum dan sifat yang dipandang sebagai ‘illah tidak memiliki kepantasan dan tidak berhubungan, maka tidak dapat ditetapkan sebagai illah
d)      Muta’addiyah, yaitu suatu sifat bukan terdapat pada peristiwa yang ada nash hukumnya, tetapi juga terdapat pada peristiwa-peristiwa yang lain yang hendak ditetapkan hukumnya. Apabila suatu illah yang bersifat terbatas hanya pada al-ashl (peristiwa hukum yang tidak ada nashsh-Nya, dan tidak terdapat pada peristiwa hukum yang tidak ada nashsh-nya, (‘illah qashirah)
 Maka ia tidak sah sebagai illah.

BAB. III

KESIPULAN

Bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. nash baik Al-quran maupun Hadist jumlahnya terbatas dan final. Tetapi permasalahatan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah sama sekali.
Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum Syara’. Karenanya, ijma’ dan qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap sejalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian ijma’ dan qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.



                                            DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Dahlan. 2014. Ushul FIQH. Jakarta: Amzah
Amir Syafruddin. 2008. Ushul FIQH Jilid 1. Jakarta: Kencana
Oyo Sunaryo Mukhlas. 2015. Pranata Sosial Hukum Islam. Bandung: Refika Aditama
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. 2009. Kamus Ilmu Ushul FIQH. Jakarta: Amzah.
Wahab abdul khallaf, 2003. Ilmu Ushul FIQH. Jakarta:pustaka Amani.
 

                                                                              


[1] Abdul Qadir Audah, at-tasyri’ al-jana’I al-islami,juz I, Beirut:Dar al-fikr al-‘Arabi, tt,
[2] Abd. Rahman Dahlan, Ushul fiqh, AMZAH:2014,hlm. 150.
[3] Amir syarifuddin. Ushul fiqh jilid I. kencana, Jakarta: 2008, hlm,303.
[4] Abdul wahab khallaf. Ilmu Ushul fiqh. Pustaka Amani, Jakarta: 2003, hlm, 62
[5] Ibid Abdul wahab khallaf. hlm, 304
[6] Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz III, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1984, hlm.186
[7] Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1986, hlm 48

0 komentar:

Posting Komentar